Jumat, 26 Juni 2015

makalah tasawuf "Tokoh Falsafi: Abdul Karim Ibnu Ibrahim al-Jili"



MAKALAH TASAWUF
Tokoh Tasawuf Falsafi “Abdul Karim Ibnu Ibrahim al-Jili”
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tasawuf
Dosen: Bapak H. M Syakirin al-Ghozaly, MA. Ph D
Disusun Oleh:
1.     Monika Windi Aprika                        (131211024)


JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM KELAS IIIA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
SURAKARTA
2014


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya, akhirnya kami selaku penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu dan tanpa ada halangan sesuatu apapun. Tak lupa penulis panjatkan sholawat serta salam pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, karena melalui tangan beliaulah, Allah menurunkan nikmatnya pada kita semua, sehingga kita bisa merasakan nikmatnya hidup saat ini.
Adapun tujuan utama kami menulis makalah yang bertemakan “tokoh tasawuf falsafi yaitu abdul karim ibnu Ibrahim al-jili” ini adalah untuk melengkapi mata kuliahTasawuf. Di samping itu, penulisan makalah ini juga menjadi rujukkan untuk kami selaku mahasiswa untuk mempertebal wawasan keilmuan kita tentang apa itu tokoh tasawuf falsafi tersebut.
Harapan kami selaku penulis, semoga dengan adanya makalah yang singkat ini bisa membantu pembaca dalam memahamiapa itu penjelasan, serta membantu kemudahan pembelajaran mata kuliah tasawuf secara khususnya.
Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Syakirin selaku dosen mata kuliah tasawuf yang telah membimbing dan memberikan masukan-masukan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada teman-teman kami yang telah turut serta membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini belum terbilang dalam kata sempurna, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan dalam pembuatan makalah ini.

Kartasura, Desember 2014
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional  sebagai dasarnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki dan irfani, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya serta berasal dari bermacam-macam, ajaran yang telah mempengaruhi para tokohnya. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi menyebabbkan ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam seperti Yunani, Persia, India dan Agama Nasrani.
B.    Rumusan Masalah
    1. Riwayat Hidup Abdul Karim Ibnu Ibrahim al Jili
    2. Ajaran-ajaran Abdul Karim Ibnu Ibrahim al Jili
C.    Tujuan
Agar kita dapat mengetahui bagaimana riwayat hidup tokoh dan hal apa saja yang terjadi pada saat itu, dan juga dapat kita mengetahui apa saja ajaran-ajaran yang diajarkan.






BAB II
PEMBAHASAN

Tokoh Tasawuf Falsafi
Tasawuf sebagai aspek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat ( qurb ) dengan Tuhan.[1] Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman spiritual dzauqiyah manusia dengan tuhan, yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya. Segala eksistensi yang relative dan nisbi tidak ada artinya di hadapan eksistensi Yang Absolut. Hubungan kedekatan dan hubungan penghambaan sufi pada khaliq nya akan melahirkan perspektif dan pemahaman yang berbeda-beda antara sufi yang satu dengan sufi yang lainnya. Keakraban dan kedekatan ini mengalami elaborasi sehingga akan melahirkan dua kelompok besar.
Kelompok pertama mendasarkan pengalaman kesufiannya dengan pemahaman yang sederhana dan dapat dipahami oleh manusia pada tataran awam, dan pada sisi lain akan melahirkan pemahaman yang kompleks dan mendalam, dengan bahasa-bahasa simbolik filosofis. Pada pemahaman yang pertama kemudian melahirkan tasawuf sunni, yang tokoh-tokohnya antara lain adalah Al-Junaid, Al-Qusyairi, dan Al-Ghazali. Sedangkan pemahaman lain atau yang kedua adalah menjadi tasawuf falsafi, yang tokoh-tokohnya adalah Abu Yazid Al-Busthami, Al-Hajjaj, Ibnu Arabi dan Al-Jili. Di kalangan penganut tasawuf falsafi itu lahirlah teori-teori seperti fana, baqa’, dan ittihad ( yang dipelopori oleh Abu yazid Al-Busthami ), Hulul ( yang dipelopori oleh Al-Hajjaj ), Wahdat al Wujud ( yang dipelopori oleh Ibn ‘Arabi ), dan Insan Kamil ( yang dipelopori oleh Al-Jili ).[2] Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada dzauq, tetapi tidak pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.[3]
Abdul Karim ibnu Ibrahim al Jili
Abdul Karim ibnu Ibrahim al Jili atau biasa disebut dengan Al-Jili adalah seorang sufi yang terkenal dari Negara Baghdad,. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh orang. Para penulis hanya menyebutkan bahwa ia lahir di al jili atau Gilan, sebuah negeri di kawasan Baghdad atau sebuah propinsi di sebelah selatan Kasfia pada tahun 1365 M ( 767 H ) dan meninggal dunia di tempat yang sama pada 1409 ( 811 H ). Nama al jili diambil dari tempat kelahirannya di Gilan atau Al jili. [4]
Jenjang pendidikan al Jili juga sulit untuk ditelusuri. Al Jili hanya diketahui pernah berguru pada Abdul Qadir al Jaelani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang kondang, disamping itu ia juga sempat berguru pada Syekh Syarafud-Din Ismail ibnu Ibrahim al Jabarti, seorang tokoh tasawuf terkenal di negeri Zabit Yaman.
Dalam dunia tulis menulis al Jili termasuk seorang sufi yang cukup kreatif, karangannya tentang tasawuf  tidak kurang dari 20 buah, yang paling terkenal di antaranya adalah “Al Insan al Kamil fi makrifah al awakhir wa al awail dan Al kahf wa ar-Raqim fi Syarh Bismillah ar-Rahman ar-Rahim. Konon bukunya yang disebut pertama adalah al-Insan al Kamil, pernah menggemparkan ulama-ulama Sunah dan Fiqih masa itu, meskipun isinya hanya menjelaskan buah fikiran Ibnu Arabi dan Jalaludin Rumi, karena memang al Jili terkenal sebagai penerus dan pembela ajaran Muhyidin Ibnu Arabi dan Jalaludin Rumi, walaupun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat.
Ajaran tasawuf al Jili yang terpenting adalah tentang Zat Mutlak, masalah Ruh, tentang Nur Muhammad dan Insan Kamil ( manusia sempurna ). Zat mutlak, menurut al Jili adalah sesuatu yang dihubungkan kepadanya nama dan sifat lainnya bukan pada wujudnya. Dalam artian bahwa setiap nama atau sifat yang dihubungkan kepada sesuatu itu disebut dengan zat, baik ia ada atau tidak. Zat Allah itu ghaib dengan sendirinya, tidak dapat dicapai atau dijangkau dengan isyarat apapun, maka untuk mencapai zat yang tertinggi harus dengan jalan Kasyaf Illahi, tanpa mengetahui kasyf tersebut maka pendekatan terhadap zat illahi tidak mungkin dapat diketahui dan dicapai, karena zat tersebut berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa dan panca indera. Kasyaf tersebut menurut al Jili dapat melalui dengan beberapa tahap:
a       Fana dari dirinya sendiri untuk mencapai hadirat Tuhan.
b       Fana dari Tuhan untuk mencapai rahasia-rahasia Rububiyah.
c       Fana dari ketergantungan terhadap sifat-sifat Tuhan untuk berhubungan dengan Zat Tuhan.
Ajaran al Jili lainnya  adalah tentang ruh. Ruh menurut al Jili ialah para malaikat. Malaikat adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dari cahaya-Nya, kemudian dari malaikat inilah Tuhan menciptakan alam. Malaikat merupakan makhluk yang terdekat dan termulia di sisi Allah, karena itu malaikat diberi tempat di alam ufuk, alam jabarut ( alam malaikat ) dan alam malakut (alam ghaib ).[5] Sedangkan ruh al Qudus atau ruh al arwah merupakan wajah yang khas dari wajah Tuhan, dengan wajah itu terciptalah yang maujud ini. Ruh al Qudus berarti ruh yang suci dari semua yang maujud. Ruh itu disebut juga dengan wajah illahi yang ada dalam semua makhluk.
Tentang Nur Muhammad, al Jili menyatakan Nur itulah sumber dari segala yang maujud, tanpa Nur maka tidak aka nada ala mini, tidak akan ada zaman dan keturunannya. Kejadian ala mini pada mulanya bersumber dari pada hakikat al Muhamadiyah atau Nur Muhammad, karena Nur Muhammad itulah asal segala kejadian. Ajaran Nur Muhammad ini pada mulanya dicetuskan oleh al Hajjaj, yang diteruskan kemudian oleh Ibnu Arabai, al Jili dalam hal ini hanyalah mengembangkan saja. Dalam ajaran Nur Muhammad ini telah dijelaskan bahwa Nabi Muhammad terdiri dari dua aspek, yakni rupa yang qadim dan rupa yang azali. Dia telah terjadi sebelum terjadinya seluruh yang ada. Rupa yang azali adalah sebagai manusia, sebagai seorang rasul dan nabi yang diutus Tuhan, dan rupa ini akan mengalami maut. Sedang rupa yang qadim tetap ada meliputi alam dari rupa inilah diambil segala Nur untuk menciptakan segala nabi dan rasul serta para wali.
Yang terakhir dari ajaran al Jili adalah mengenal Insan Kamil ( manusia sempurna ) sebagai suatu keharusan yang inheren dengan esensinya.[6] Menurut al Jili, Muhammad adalah Al Insan al Kamil, karena mempunyai sifat-sifat al Haq ( Tuhan ) dan al Khalq ( makhluk ) sekaligus. Hal ini karena sifat dan nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan pada Insan Kamil. Dan sesungguhnya al Insan al kamil itu adalah Ruh Muhammad yang diciptakan dalam diri nabi-nabi sejak dari nabi adam sampai nabi Muhammad, wali-wali serta orang-orang shaleh. Al Insan al Kamil di gambarkan diperumpamaan hubungan Tuhan dengan Insan Kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat bentuk dirinya kecuali melalui cermin tersebut. Demikian pula halnya dengan Insan kamil, ia tidak akan dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya kecuali melalui cermin Insan Kamil. Al Insan al Kamil diberi hak-hak dan sifat-sifat yang istimewa dengan hukum-hukum Tuhan yang halus. Ia memiliki dua dimensi yaitu kanan dan kiri, yang kanan merupakan aspek lahir seperti melihat dan mendengar.[7]
Menurut Arberry, konsep Al Insan al Kamil al Jili dekat dengan konsep hullul al Hajjaj dan konsep ijtihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad.[8]
















BAB III
PENUTUP

A      Kesimpulan
Ajaran tasawuf al Jili yang terpenting adalah tentang Zat Mutlak, masalah Ruh, tentang Nur Muhammad dan Insan Kamil ( manusia sempurna ). Zat mutlak, menurut al Jili adalah sesuatu yang dihubungkan kepadanya nama dan sifat lainnya bukan pada wujudnya. Dalam artian bahwa setiap nama atau sifat yang dihubungkan kepada sesuatu itu disebut dengan zat, baik ia ada atau tidak. Zat Allah itu ghaib dengan sendirinya, tidak dapat dicapai atau dijangkau dengan isyarat apapun, maka untuk mencapai zat yang tertinggi harus dengan jalan Kasyaf Illahi, tanpa mengetahui kasyf tersebut maka pendekatan terhadap zat illahi tidak mungkin dapat diketahui dan dicapai, karena zat tersebut berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa dan panca indera.








DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.
Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek ( Jilid II ). UI-Press. Jakarta: 1986.
Fadhli bahri. Darah Hitam Tasawuf,Studi Kesesatan Kaum Sufi. Jakarta: Darul Falah, 2000.
M. Jamil. 2007. Cakrawala Tasawuf. Jakarta:Gaung Persada Press.
Moh. Toriqqudin. 2008. Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia                                   Modern. UIN Malang Press.
Solihin. 2001. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung: CV Pustaka                                 Setia.
Syakirin Al-Ghozaly. Ilmu Tasawuf. Kartasura: IAIN Surakarta.



[1] Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek ( Jilid II ). UI-Press. Jakarta: 1986, hlm: 71.
[2] Fadhli bahri. Darah Hitam Tasawuf,Studi Kesesatan Kaum Sufi. Jakarta: Darul Falah, 2000, hlm: 334.
[3]Abdul Rozak. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, hlm 144.
[4] Syakirin Al-Ghozaly. Ilmu Tasawuf. Kartasura: IAIN Surakarta.
[5]M. Jamil. 2007. Cakrawala Tasawuf. Jakarta:Gaung Persada Press, hlm, 233.

[7] Moh. Toriqqudin. 2008. Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia                                 Modern. UIN Malang Press.
[8] Ibid, 155.