Jumat, 26 Juni 2015

makalah tasawuf "Tokoh Falsafi: Abdul Karim Ibnu Ibrahim al-Jili"



MAKALAH TASAWUF
Tokoh Tasawuf Falsafi “Abdul Karim Ibnu Ibrahim al-Jili”
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tasawuf
Dosen: Bapak H. M Syakirin al-Ghozaly, MA. Ph D
Disusun Oleh:
1.     Monika Windi Aprika                        (131211024)


JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM KELAS IIIA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
SURAKARTA
2014


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya, akhirnya kami selaku penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu dan tanpa ada halangan sesuatu apapun. Tak lupa penulis panjatkan sholawat serta salam pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, karena melalui tangan beliaulah, Allah menurunkan nikmatnya pada kita semua, sehingga kita bisa merasakan nikmatnya hidup saat ini.
Adapun tujuan utama kami menulis makalah yang bertemakan “tokoh tasawuf falsafi yaitu abdul karim ibnu Ibrahim al-jili” ini adalah untuk melengkapi mata kuliahTasawuf. Di samping itu, penulisan makalah ini juga menjadi rujukkan untuk kami selaku mahasiswa untuk mempertebal wawasan keilmuan kita tentang apa itu tokoh tasawuf falsafi tersebut.
Harapan kami selaku penulis, semoga dengan adanya makalah yang singkat ini bisa membantu pembaca dalam memahamiapa itu penjelasan, serta membantu kemudahan pembelajaran mata kuliah tasawuf secara khususnya.
Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Syakirin selaku dosen mata kuliah tasawuf yang telah membimbing dan memberikan masukan-masukan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada teman-teman kami yang telah turut serta membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini belum terbilang dalam kata sempurna, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan dalam pembuatan makalah ini.

Kartasura, Desember 2014
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional  sebagai dasarnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki dan irfani, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya serta berasal dari bermacam-macam, ajaran yang telah mempengaruhi para tokohnya. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi menyebabbkan ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam seperti Yunani, Persia, India dan Agama Nasrani.
B.    Rumusan Masalah
    1. Riwayat Hidup Abdul Karim Ibnu Ibrahim al Jili
    2. Ajaran-ajaran Abdul Karim Ibnu Ibrahim al Jili
C.    Tujuan
Agar kita dapat mengetahui bagaimana riwayat hidup tokoh dan hal apa saja yang terjadi pada saat itu, dan juga dapat kita mengetahui apa saja ajaran-ajaran yang diajarkan.






BAB II
PEMBAHASAN

Tokoh Tasawuf Falsafi
Tasawuf sebagai aspek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran adanya hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk rasa dekat ( qurb ) dengan Tuhan.[1] Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman spiritual dzauqiyah manusia dengan tuhan, yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya. Segala eksistensi yang relative dan nisbi tidak ada artinya di hadapan eksistensi Yang Absolut. Hubungan kedekatan dan hubungan penghambaan sufi pada khaliq nya akan melahirkan perspektif dan pemahaman yang berbeda-beda antara sufi yang satu dengan sufi yang lainnya. Keakraban dan kedekatan ini mengalami elaborasi sehingga akan melahirkan dua kelompok besar.
Kelompok pertama mendasarkan pengalaman kesufiannya dengan pemahaman yang sederhana dan dapat dipahami oleh manusia pada tataran awam, dan pada sisi lain akan melahirkan pemahaman yang kompleks dan mendalam, dengan bahasa-bahasa simbolik filosofis. Pada pemahaman yang pertama kemudian melahirkan tasawuf sunni, yang tokoh-tokohnya antara lain adalah Al-Junaid, Al-Qusyairi, dan Al-Ghazali. Sedangkan pemahaman lain atau yang kedua adalah menjadi tasawuf falsafi, yang tokoh-tokohnya adalah Abu Yazid Al-Busthami, Al-Hajjaj, Ibnu Arabi dan Al-Jili. Di kalangan penganut tasawuf falsafi itu lahirlah teori-teori seperti fana, baqa’, dan ittihad ( yang dipelopori oleh Abu yazid Al-Busthami ), Hulul ( yang dipelopori oleh Al-Hajjaj ), Wahdat al Wujud ( yang dipelopori oleh Ibn ‘Arabi ), dan Insan Kamil ( yang dipelopori oleh Al-Jili ).[2] Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada dzauq, tetapi tidak pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.[3]
Abdul Karim ibnu Ibrahim al Jili
Abdul Karim ibnu Ibrahim al Jili atau biasa disebut dengan Al-Jili adalah seorang sufi yang terkenal dari Negara Baghdad,. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh orang. Para penulis hanya menyebutkan bahwa ia lahir di al jili atau Gilan, sebuah negeri di kawasan Baghdad atau sebuah propinsi di sebelah selatan Kasfia pada tahun 1365 M ( 767 H ) dan meninggal dunia di tempat yang sama pada 1409 ( 811 H ). Nama al jili diambil dari tempat kelahirannya di Gilan atau Al jili. [4]
Jenjang pendidikan al Jili juga sulit untuk ditelusuri. Al Jili hanya diketahui pernah berguru pada Abdul Qadir al Jaelani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang kondang, disamping itu ia juga sempat berguru pada Syekh Syarafud-Din Ismail ibnu Ibrahim al Jabarti, seorang tokoh tasawuf terkenal di negeri Zabit Yaman.
Dalam dunia tulis menulis al Jili termasuk seorang sufi yang cukup kreatif, karangannya tentang tasawuf  tidak kurang dari 20 buah, yang paling terkenal di antaranya adalah “Al Insan al Kamil fi makrifah al awakhir wa al awail dan Al kahf wa ar-Raqim fi Syarh Bismillah ar-Rahman ar-Rahim. Konon bukunya yang disebut pertama adalah al-Insan al Kamil, pernah menggemparkan ulama-ulama Sunah dan Fiqih masa itu, meskipun isinya hanya menjelaskan buah fikiran Ibnu Arabi dan Jalaludin Rumi, karena memang al Jili terkenal sebagai penerus dan pembela ajaran Muhyidin Ibnu Arabi dan Jalaludin Rumi, walaupun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat.
Ajaran tasawuf al Jili yang terpenting adalah tentang Zat Mutlak, masalah Ruh, tentang Nur Muhammad dan Insan Kamil ( manusia sempurna ). Zat mutlak, menurut al Jili adalah sesuatu yang dihubungkan kepadanya nama dan sifat lainnya bukan pada wujudnya. Dalam artian bahwa setiap nama atau sifat yang dihubungkan kepada sesuatu itu disebut dengan zat, baik ia ada atau tidak. Zat Allah itu ghaib dengan sendirinya, tidak dapat dicapai atau dijangkau dengan isyarat apapun, maka untuk mencapai zat yang tertinggi harus dengan jalan Kasyaf Illahi, tanpa mengetahui kasyf tersebut maka pendekatan terhadap zat illahi tidak mungkin dapat diketahui dan dicapai, karena zat tersebut berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa dan panca indera. Kasyaf tersebut menurut al Jili dapat melalui dengan beberapa tahap:
a       Fana dari dirinya sendiri untuk mencapai hadirat Tuhan.
b       Fana dari Tuhan untuk mencapai rahasia-rahasia Rububiyah.
c       Fana dari ketergantungan terhadap sifat-sifat Tuhan untuk berhubungan dengan Zat Tuhan.
Ajaran al Jili lainnya  adalah tentang ruh. Ruh menurut al Jili ialah para malaikat. Malaikat adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dari cahaya-Nya, kemudian dari malaikat inilah Tuhan menciptakan alam. Malaikat merupakan makhluk yang terdekat dan termulia di sisi Allah, karena itu malaikat diberi tempat di alam ufuk, alam jabarut ( alam malaikat ) dan alam malakut (alam ghaib ).[5] Sedangkan ruh al Qudus atau ruh al arwah merupakan wajah yang khas dari wajah Tuhan, dengan wajah itu terciptalah yang maujud ini. Ruh al Qudus berarti ruh yang suci dari semua yang maujud. Ruh itu disebut juga dengan wajah illahi yang ada dalam semua makhluk.
Tentang Nur Muhammad, al Jili menyatakan Nur itulah sumber dari segala yang maujud, tanpa Nur maka tidak aka nada ala mini, tidak akan ada zaman dan keturunannya. Kejadian ala mini pada mulanya bersumber dari pada hakikat al Muhamadiyah atau Nur Muhammad, karena Nur Muhammad itulah asal segala kejadian. Ajaran Nur Muhammad ini pada mulanya dicetuskan oleh al Hajjaj, yang diteruskan kemudian oleh Ibnu Arabai, al Jili dalam hal ini hanyalah mengembangkan saja. Dalam ajaran Nur Muhammad ini telah dijelaskan bahwa Nabi Muhammad terdiri dari dua aspek, yakni rupa yang qadim dan rupa yang azali. Dia telah terjadi sebelum terjadinya seluruh yang ada. Rupa yang azali adalah sebagai manusia, sebagai seorang rasul dan nabi yang diutus Tuhan, dan rupa ini akan mengalami maut. Sedang rupa yang qadim tetap ada meliputi alam dari rupa inilah diambil segala Nur untuk menciptakan segala nabi dan rasul serta para wali.
Yang terakhir dari ajaran al Jili adalah mengenal Insan Kamil ( manusia sempurna ) sebagai suatu keharusan yang inheren dengan esensinya.[6] Menurut al Jili, Muhammad adalah Al Insan al Kamil, karena mempunyai sifat-sifat al Haq ( Tuhan ) dan al Khalq ( makhluk ) sekaligus. Hal ini karena sifat dan nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan pada Insan Kamil. Dan sesungguhnya al Insan al kamil itu adalah Ruh Muhammad yang diciptakan dalam diri nabi-nabi sejak dari nabi adam sampai nabi Muhammad, wali-wali serta orang-orang shaleh. Al Insan al Kamil di gambarkan diperumpamaan hubungan Tuhan dengan Insan Kamil bagaikan cermin. Seseorang tidak dapat melihat bentuk dirinya kecuali melalui cermin tersebut. Demikian pula halnya dengan Insan kamil, ia tidak akan dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya kecuali melalui cermin Insan Kamil. Al Insan al Kamil diberi hak-hak dan sifat-sifat yang istimewa dengan hukum-hukum Tuhan yang halus. Ia memiliki dua dimensi yaitu kanan dan kiri, yang kanan merupakan aspek lahir seperti melihat dan mendengar.[7]
Menurut Arberry, konsep Al Insan al Kamil al Jili dekat dengan konsep hullul al Hajjaj dan konsep ijtihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad.[8]
















BAB III
PENUTUP

A      Kesimpulan
Ajaran tasawuf al Jili yang terpenting adalah tentang Zat Mutlak, masalah Ruh, tentang Nur Muhammad dan Insan Kamil ( manusia sempurna ). Zat mutlak, menurut al Jili adalah sesuatu yang dihubungkan kepadanya nama dan sifat lainnya bukan pada wujudnya. Dalam artian bahwa setiap nama atau sifat yang dihubungkan kepada sesuatu itu disebut dengan zat, baik ia ada atau tidak. Zat Allah itu ghaib dengan sendirinya, tidak dapat dicapai atau dijangkau dengan isyarat apapun, maka untuk mencapai zat yang tertinggi harus dengan jalan Kasyaf Illahi, tanpa mengetahui kasyf tersebut maka pendekatan terhadap zat illahi tidak mungkin dapat diketahui dan dicapai, karena zat tersebut berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa dan panca indera.








DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.
Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek ( Jilid II ). UI-Press. Jakarta: 1986.
Fadhli bahri. Darah Hitam Tasawuf,Studi Kesesatan Kaum Sufi. Jakarta: Darul Falah, 2000.
M. Jamil. 2007. Cakrawala Tasawuf. Jakarta:Gaung Persada Press.
Moh. Toriqqudin. 2008. Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia                                   Modern. UIN Malang Press.
Solihin. 2001. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung: CV Pustaka                                 Setia.
Syakirin Al-Ghozaly. Ilmu Tasawuf. Kartasura: IAIN Surakarta.



[1] Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek ( Jilid II ). UI-Press. Jakarta: 1986, hlm: 71.
[2] Fadhli bahri. Darah Hitam Tasawuf,Studi Kesesatan Kaum Sufi. Jakarta: Darul Falah, 2000, hlm: 334.
[3]Abdul Rozak. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, hlm 144.
[4] Syakirin Al-Ghozaly. Ilmu Tasawuf. Kartasura: IAIN Surakarta.
[5]M. Jamil. 2007. Cakrawala Tasawuf. Jakarta:Gaung Persada Press, hlm, 233.

[7] Moh. Toriqqudin. 2008. Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia                                 Modern. UIN Malang Press.
[8] Ibid, 155.

Minggu, 31 Mei 2015

makalah problematika dan tan tantangan dakwah kontemporer



MAKALAH
“Problematika dan Tantangan Dakwah Kontemporer”
Disusun untuk memenuhi Tugas Akhir mata kuliah Psikologi Komunikasi
Dosen: Nur Muhlashin, S. Psi, M. A
Disusun Oleh:
Monika Windi Aprika
131211024

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM KELAS IIIA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
SURAKARTA
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya, akhirnya kami selaku penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu dan tanpa ada halangan sesuatu apapun. Tak lupa penulis panjatkan sholawat serta salam pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, karena melalui tangan beliaulah, Allah menurunkan nikmatnya pada kita semua, sehingga kita bisa merasakan nikmatnya hidup saat ini.
Adapun tujuan utama kami menulis makalah yang bertemakan “Problematika dan Tantangan Dakwah Kontemporer” ini adalah untuk melengkapi mata kuliah Psikologi Komunikasi. Di samping itu, penulisan makalah ini juga menjadi rujukkan untuk kami selaku mahasiswa untuk mempertebal wawasan keilmuan kita tentang apa saja problematika dan tantangan dakwah kontemporer.
Harapan kami selaku penulis, semoga dengan adanya makalah yang singkat ini bisa membantu pembaca dalam memahamiapa itu penjelasan, serta membantu kemudahan pembelajaran mata kuliah Psikologi Komunikasisecara khususnya.
Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Nur Muhlashin selaku dosen mata kuliah Psikologi Komunikasi yang telah membimbing dan memberikan masukan-masukan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada teman-teman kami yang telah turut serta membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini belum terbilang dalam kata sempurna, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak untuk perbaikan dalam pembuatan makalah ini.

Kartasura, 1 Januariri 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A       Latar Belakang Masalah
Sebagai ilmu pengetahuan, dakwah tidak tertinggal jauh oleh cabang-cabang ilmu lainnya. Apalagi di era sekarang ini yang serba modern, dakwah metode cultural kurang berpengaruh dalam masyarakat apalagi masyarakat kota. Islam merupakan agama dakwah, yaitu agama yang menganjurkan kepada pemeluknya untuk mengajak segenap manusia supaya beriman, beramal dan berkarya serta menata kehidupan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dakwah sebagai tugas mulia dalam pelaksanaannya belum dikelola dengan baik. Menurut kamus bahasa arab da’a, yad’u, da’watan yang berarti menyeru, mengundang atau ajakan. Inilah Allah SWT dalam menugaskan dan memberitahu kepada orang-orang mukmin tentang dakwah. Kegiatan dakwah yang kian hari kian mendapat tantangan yang sangat kompleks, mesti ditunaikan dengan beragam kekuatan dan potensi. Paling tidak tantangan yang menghadang lajunya perkembangan dakwah islamiyah di Indonesia yaitu salah satunya adalah Dakwah Kontemporer.
Adapun metode yang harusnya ditempuh oleh para dai adalah dengan menggunakan kalimat yang lembut, tidak kasar apalagi mencacinya, dan apapun ketika seseorang itu menolaknya maka ajaklah ia dengan berdiskusi atau berdialog dengan argument-argumen yang kuat sehingga bisa meyakinkan dan tidak pula tetap dengan suasana yeng tentram. Dakwah menjadi kajian akademik kira-kira pada abad ke-20 setelah adanya beberapa tulisan yang membicarakan tentang dakwah yang diperkuat dengan berdirinya jurusan dakwah pada fakultas-fakultas. Dengan lahirnya dakwah kontemporer ini, para penda’I dapat bersaing secara sehat dengan ilmu-ilmu lainnya yang telah berkembang begitu cepat, apalagi dengan lahirnya internet yang semakin hari semakin canggih dan semakin mudah berkembang serta semakin mempengaruhi orang yang menggunakan.
B            Rumusan Masalah
1     Apa Pengertian dari Dakwah Kontemporer itu?
2     Bagaimana Dakwah di Era yang Kontemporer ini?
3     Apa saja Tantangan-Tantangan Dakwah Kontemporer?




















BAB II
PEMBAHASAN

A           Pengertian Dakwah Kontemporer
              Dakwah yang pada intinya menyeru kepada Allah, adalah kewajiban setiap muslim. Kesadaran ini penting ditanamkan pada setiap muslim. Allah SWT berfirman dalam QS an Nahl : 125 yang artinya: “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk”.  Terkait dengan seruan untuk berdakwah, lahirlah istilah dakwah kontemporer saat ini, yang mana dakwah kontemporer adalah dakwah yang dilakukan dengan cara menggunakan teknologi modern yang sedang berkembang, misalnya televisi, radio, media cetak, internet, dan lain-lain. Dakwah kontemporer saat ini sangat cocok apabila dilakukan di lingkungan masyarakat kota atau masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan menengah ke atas. Teknis yang ada dan yang digunakan dalam dakwah kontemporer ini juga sangat berbeda dengan dakwah kulutral. Jika dalam dakwah kultural pada umunya dilakukan dengan menyesuaikan dengan budaya yang ada pada masyarakat setempat, tetapi berbeda dengan dakwah kontemporer dilakukan dengan cara mengikuti teknologi yang sedang berkembang saat ini.
              Persaingan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, khususnya dalam bidang periklanan adalah merupakan tantangan bagi para da’i kita untuk segera berpindah dari kebiasaan dakwah kultural ke dakwah kontemporer. Dakwah kontemporer yang dimaksud adalah dakwah yang menggunakakan fasilitas teknologi modern sebagaimana iklan yang sedang marak-maraknya. Al-qur’an yang selama ini banyak disampaikan dengan cara tradisional. Munculnya teknologi dibidang internet atau komputer ini sebenarnya sangat membantu bagi para da’i dalam menyampaikan nilai-nilai Al-Qur’an dengan metode tematik. Walaupun kita sadari bahwa para da’i kita banyak yang tidak bisa mengoperasikan komputer dengan baik. Munculnya Holy Qur’an, Holy Hadist merupakan kemajuan yang luar biasa bagi umat Islam umumnya dan para da’i pada khususnya untuk segera direalisasikan kepada umat yang selama ini dalam menggali Al-Qur’an  itu dengan metode tradisional. Dakwah yang menggunakan fasiltas mimbar-mimbar hanya akan didengar sebatas yang hadir pada acara tersebut. Lain halnya dengan dakwah yang menggunakan fasilitas teknologi elektronik seperti TV, internet dan teknologi modern lainnya pasti akan lebih banyak manfaatnya.
              Dakwah kontemporer yang memanfaatkan teknologi modern lebih banyak manfaatnya daripada dakwah kultural yang masih harus menyesuaikan dengan kondisi budaya masing-masing daerah. Materi dakwah yang tepat untuk menghadapi mayarakat modern ini adalah materi kajian yang bersifat tematik, artinya Islam harus dikaji dengan cara mengambil tema-tema tertentu yang sesuai dengan tuntutan zaman.  Sedangkan fasilitas yang tepat adalah dengan menggunakan media cetak dan elektronik hasilnya akan lebih banyak serta jangkauan yang lebih luas.
B            Problematika Dakwah di Era Kontemporer
              Mengingat aktivitas dakwah tidak terlepas dari masyarakat, maka perkembangannya pun seharusnya berbanding lurus dengan perkembangan masyarakat. Artinya, aktivitas dakwah hendaknya dapat mengikuti perkembangan dan perubahan masyarakat. Selama ini aktivitas dakwah jauh tertinggal dengan perkembangan dan perubahan masyarakat sehingga dakwah terkesan jalan di tempat. Dakwah belum dijadikan sebagai pedoman atau panduan oleh masyarakat dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi.[1]
              Sekurang-kurangnya, menurut Abdul Basit ada tiga problematika besar yang dihadapai dakwah para era kontemporer ini, yaitu: Pertama, pemahaman masyarakat pada umumnya terhadap dakwah lenih diartikan sebagai aktivitas yang bersifat oral communication (tabligh) sehingga akktivitas dakwah lebih berorientasi pada kegiatan-kegiatan ceramah atau tabligh. Di satu sisi, kegiatan ceramah memberikan keberuntungan tersendiri seperti adanya kontak langsung antara da’i dengan audiens (mad’u), seorang da’i tidak membutuhkan persiapan yang matang, mad’u tidak memerlukan energi yang banyak untuk berfikir, dan audiens ceramah bisa bersifat heterogen maupun homogen. Di sisi lain, ada kelemahan-kelemahan mendasar dari kegiatan ceramah, di antaranya: mad’u harus menyediakan waktu yang cukup untuk mengikuti ceramah. Padahal di era kontemporer ini, masyarakat banyak yang tidak memiliki waktu dikarenakan sibuk dengan kesibukannya dalam bekerja. Selain itu, ceramah dapat membosankan dan menjenuhkan, tidak efektif dalam menyampaikan pesan-pesan dakwah disebabkan daya tangkap manusia sangat terbatas, dan kelemahan-kelmahan lain yang terkait dengan kompetensi yang dimiliki oleh seorang da’i.[2]
              Kedua, problematika yang bersifat epistemologis. Dakwah pada era sekarang bukan hanya bersifat rutinitas, temporal dan instan, tetapi dakwah membutuhkan paradigm keilmuan. Dengan adanya keilmuan dakwah tentunya hal-hal yang terkait dengan langkah-langkah strategis dan teknis dapat dicari rujukannya melalui teori-teori dakwah. Selama ini, aktivitas dakwah berjalan terus menerus tanpa menggunakan kerangka teoritis yang jelas. Akibatnya, aktivitas dakwah berjalan tanpa perencanaan dan evaluasi. [3] Problem yang muncul berkenaan dengan epistemology dakwah, menurut Awis Karni, yaitu: Pertama, dari segi sejarah munculnya dan perkembangan ilmu-ilmu yang ada dalam Islam bahwa ilmu dakwah tidak ada dalam khazanah ilmu-ilmu Islam klasik seperti halnya ilmu kalam, filsafat Islam, tasawuf, fiqih, hadist, dan sebagainya. Sementara itu, kesulitan juga muncul ketika ada pembicaraan siapa mujtahid pertama yang menggagas munculnya ilmu dakwah. Kedua, ketika dakwah ditinjau dari teori keilmuan yang atau filsafat ilmui, problem muncul waktu menjelaskan epistemologi dakwah. Problem ini terutama terkait dengan objek kajiannya, baik secara formal maupun material, sistem dan metodologi, serta aksiologi dakwah dalam menjelaskan kenyataan yang dihadapi dakwah Islam.[4]
              Ketiga, problem yang menyangkut sumber daya manusia. Aktivitas dakwah masih dilakukan secara sambil lalu atau menjadi pekerjaan sampingan. Implikasinya banyak bermunculan da’i-da’i yang kurang professional, rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi da’i, dan lemahnya manajerial yang dilakukan oleh da’i dalam mengemas kegiatan dakwah. Banyak da’i yang gagap dengan teknologi yang sedang berkembang, tidak adanya penelitian dan perencanaan yang matang secara sistematis dan kurangnya koordinasi antar organisasi atau Perguruan Tinggi yang bergeraj di bidang dakwah. Idealnya, seorang da’i tidak hanya memilki kompetensi yang bersifat substantif saja seperti kemampuan dari sisi materi-materi dakwah dan akhlak da’i, tetapi juga membutuhkan kompetensi lain berupa metodologi sehingga kompetensi substantif yang dimilkinya dapat ditransformasikan kepada masyarakat secara efisien dan efektif. [5]
C           Tantangan-Tantangan Dakwah Kontemporer
              Dewasa ini, tantangan dakwah tampaknya semakin berat, terutama tantangan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dampak dari arus modernisasi dan globalisasi. Walaupun di balik tantangan tersebut sesungguhnya juga menawarkan peluang-peluang yang harus dimanfaatkan. Tantangan dakwah kontemporer dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu: Pertama, tantangan yang merupakan ekses atau dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sisi buruk dari globalisasi. Kedua, tantangan yang berasal dari pihak non-Muslim, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, berbagai progam dan strategi yang mereka lakukan. Ketiga, tantangan dakwah akibat dari berbagai persoalan kebangsaan yang memberikan efek negatif kepada kegiatan dakwah. Sementara pada sisi lain, dakwah juga dihadapkan dengan persoalan kemiskinan, terutama dampak dari krisis ekonomi, yang telah mengakibatkan penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Selain itu, tantangan atau permasalahan pemurtadan dan ghazwul Fikr yang dilakukan pihak non-Muslim dan hal ini hanya selalu diwaspadai. Dalam konteks ghaswul Fikr, terdapat berbagai tuduhan dari pihak luar Islam seperti Islam dikembangkan dengan pedang dan perang, serta tuduhan Islam agama teroris.
              Mereka telah menyalahgunakan kebebasan berekspresi untuk memprovokasi, menghina keyakinan dan melukai hati umat Islam. Semua bentuk serangan terhadap Islam, Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks dakwah, semua tuduhan itu harus dijawab secara akademis, bukan dengan sentiment yang berlebihan. Sejauh ini memang sudah ada beberapa upaya untuk mengkanternya, seperti yang dilakukan oleh Irena Handono dan teman-temannya. Ia menulis buku dengan judul: Islam Dihujat: Menjawab buku the Islamic Invasion. Ke depan usaha-usaha seperti itu, harus dilakukan, sehingga ada keseimbangan antara informasi dan wawasan bagi masyarakat dunia.
              Tantangan dakwah pada tataran nasional juga sangat beragam. Bangsa Indonesia sekarang sedang melangkah dari kehidupan agraris yang bersahaja kepada kehidupan industry. Proses industrialism dan modernisasi, manusia dapat lupa terhadap hakikat hidup dan fungsi ganda yang diembankannya, yaitu sebagai pengabdi kepada Allah (abdun), sebagai khalifah dan penerus risalah kenabian.  Manusia dapat menjadi makhluk penyembah teknologi, materu dan kepada sesame. Kalau kondisi ini muncul akibatnya akan menghasilkan industri yang mengelu-elukan teknologi, serta muncul sikap mental arogan terhadap nilai-nilai transenden yang ditawarkan oleh wahyu Ilahi. Kemudian pada gilirannya akan menjurus kepada pemikiran dan sikap hidup yang sekuler, baik dalam pengertian pemisahan agama dengan politik, maupun dalam pengertian terbebasnya manusia dari kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama.
              Dakwah Islam dituntut untuk memberikan nilai terhadap ilmu pengetahuan, yaitu pada tahap aksiologis, sehingga penerapan ilmu tidak memberikan dampak negatif bagi kehidupan umat manusia. Demikian juga halnya dalam penerapan teknologi. Baik terhadap ilmu pengetahuan maupun terhadap teknologi, yang sangat menentukan disinilah adalah manusianya yang mengendalikan ilmu dan teknologi itu. Tantangan berikutnya, yang semakin terasa saat ini adalah akibat dari munculnya era globalisasi. Pada era ini, dunia terasa tidak luas lagi dan kehidupann manusia antar Negara menjadi transparan. Akibatnya adalah muncul nilai-nilai baru yang dapat mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang. Media massa saat ini, seperti radio, televisi, pers dan teknologi mutakhir, dikuasai oleh pihak barat. Dalam konteks dakwah keberadaannya harus selalu diperhitungkan, sebab secara teori media masa mempunyai fungsi memberikan informasi (to inform), mendidik (to educated) dan menghibur (to entertainment). Media massa juga bersifat ambivalen, pada satu sisi menawarkan “rahmat” yaitu kebaikan, kemudahan, dan pencerahan kepada umat manusia sebagaimana fungsi diatas.





BAB III
PENUTUP

A      Kesimpulan
Dakwah yang pada intinya menyeru kepada Allah, adalah kewajiban setiap muslim. Kesadaran ini penting ditanamkan pada setiap muslim. Allah SWT berfirman dalam QS an Nahl : 125 yang artinya: “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk”.
         Dakwah pada era kontemporer ini dihadapkan pada berbagai tantangan dan problematika yang semakin kompleks. Hal ini tidak terlepas dari adanya perkembangan dan dinamika masyarakat yang semakin maju dan beradab. Pada masyarakat agraris yang dimana kehidupan manusia penuh dengan kesederhanaan dan kesahajaan tentunya terdapat problematika hidup yang berbeda dengan masyarakat kontemporer sekarang ini yang cenderung materialistik dan individualistik. Begitu juga tantangan dan problematika dakwah yang dihadapkan pada berbagai persoalan yang sesuai dengan tuntutan pada era sekarang ini.
B      Saran
Saran untuk umat Islam kita harus bisa mengambil sisi positif dari segala perubahan yang ada, kita harus bisa menyaring serta memfilter mana yang memang cocok untuk diambil dan dianut. Dakwah kontemporer disini banyak dihadapkan pada beberapa tantangan dan problematika yang semakin kompleks. Dakwah kontemporer menggunakan fasilitas media massa sebagai proses penyebaran dakwah informasi. Kita sebagai umat Islam harus bisa mengetahui dan mengikuti mana yang baik untuk diambil.

DAFTAR PUSTAKA


Abdul Wasit. 2006. Wacana Dakwah Kontemporer. Purwokerto: STAIN             Purwokerto.
Awis Karni. 2005. Dakwah Islam di Perkotaan: Studi Kasus Yayasan Wakaf                     Paramadina. Disertasi, PPS IAIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Muhammad Arkoun. 2005. Islam Kontemporer: Menuju Dialog Antar                               Agama.            Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yatimin Abdullah. 2006. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah.





[1] Abdul Basit. Wacana Dakwah Kontemporer. Purwokerto: STAINPress, 2006. Hlm:3.
[2] Ibid. hlm: 3-4.
[3] Ibid. hlm: 4.
[4] Awis Karni. Dakwah Islam di Perkotaan. Jakarta, 2000. Hlm: 28-29.
[5] Abdul Basit. Wacana Dakwah Kontemporer. Purwokerto: STAINPress, 2006. Hlm:5-6.