MAKALAH
TASAWUF
Tokoh Tasawuf Falsafi “Abdul Karim Ibnu Ibrahim al-Jili”
Tokoh Tasawuf Falsafi “Abdul Karim Ibnu Ibrahim al-Jili”
Disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Tasawuf
Dosen: Bapak H. M Syakirin
al-Ghozaly, MA. Ph D

Disusun
Oleh:
1. Monika Windi Aprika (131211024)
JURUSAN KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM KELAS IIIA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN
DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI SURAKARTA
SURAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya,
akhirnya kami selaku penulis mampu menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu
dan tanpa ada halangan sesuatu apapun. Tak lupa penulis panjatkan sholawat
serta salam pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, karena melalui tangan
beliaulah, Allah menurunkan nikmatnya pada kita semua, sehingga kita bisa
merasakan nikmatnya hidup saat ini.
Adapun tujuan utama kami menulis
makalah yang bertemakan “tokoh tasawuf falsafi yaitu abdul karim ibnu Ibrahim
al-jili” ini adalah untuk melengkapi mata kuliahTasawuf. Di samping itu,
penulisan makalah ini juga menjadi rujukkan untuk kami selaku mahasiswa untuk
mempertebal wawasan keilmuan kita tentang apa itu tokoh tasawuf falsafi
tersebut.
Harapan kami selaku penulis, semoga
dengan adanya makalah yang singkat ini bisa membantu pembaca dalam memahamiapa
itu penjelasan, serta membantu kemudahan pembelajaran mata kuliah tasawuf secara
khususnya.
Ucapan terimakasih penulis ucapkan
kepada Bapak Syakirin selaku dosen mata kuliah tasawuf yang telah membimbing
dan memberikan masukan-masukan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada teman-teman
kami yang telah turut serta membantu kami dalam penyusunan makalah ini.
Penulis sangat menyadari bahwa
makalah ini belum terbilang dalam kata sempurna, karena keterbatasan kemampuan
dan pengetahuan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
dari berbagai pihak untuk perbaikan dalam pembuatan makalah ini.
Kartasura, Desember 2014
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tasawuf
falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan
visi rasional sebagai dasarnya. Berbeda
dengan tasawuf akhlaki dan irfani, tasawuf falsafi menggunakan terminologi
filosofis dalam pengungkapannya serta berasal dari bermacam-macam, ajaran yang
telah mempengaruhi para tokohnya. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat
dalam ajaran tasawuf falsafi menyebabbkan ajaran-ajaran tasawuf jenis ini
bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam seperti Yunani, Persia,
India dan Agama Nasrani.
B.
Rumusan
Masalah
- Riwayat Hidup Abdul Karim Ibnu Ibrahim al Jili
- Ajaran-ajaran Abdul Karim Ibnu Ibrahim al Jili
C.
Tujuan
Agar kita
dapat mengetahui bagaimana riwayat hidup tokoh dan hal apa saja yang terjadi
pada saat itu, dan juga dapat kita mengetahui apa saja ajaran-ajaran yang
diajarkan.
BAB
II
PEMBAHASAN
Tokoh Tasawuf Falsafi
Tasawuf
sebagai aspek mistisisme dalam Islam, pada intinya adalah kesadaran adanya
hubungan komunikasi manusia dengan Tuhannya, yang selanjutnya mengambil bentuk
rasa dekat ( qurb ) dengan Tuhan.[1]
Hubungan kedekatan tersebut dipahami sebagai pengalaman spiritual dzauqiyah
manusia dengan tuhan, yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa segala sesuatu
adalah kepunyaan-Nya. Segala eksistensi yang relative dan nisbi tidak ada
artinya di hadapan eksistensi Yang Absolut. Hubungan kedekatan dan hubungan
penghambaan sufi pada khaliq nya akan melahirkan perspektif dan pemahaman yang
berbeda-beda antara sufi yang satu dengan sufi yang lainnya. Keakraban dan
kedekatan ini mengalami elaborasi sehingga akan melahirkan dua kelompok besar.
Kelompok
pertama mendasarkan pengalaman kesufiannya dengan pemahaman yang sederhana dan
dapat dipahami oleh manusia pada tataran awam, dan pada sisi lain akan
melahirkan pemahaman yang kompleks dan mendalam, dengan bahasa-bahasa simbolik
filosofis. Pada pemahaman yang pertama kemudian melahirkan tasawuf sunni, yang tokoh-tokohnya
antara lain adalah Al-Junaid, Al-Qusyairi, dan Al-Ghazali. Sedangkan pemahaman
lain atau yang kedua adalah menjadi tasawuf falsafi, yang tokoh-tokohnya adalah
Abu Yazid Al-Busthami, Al-Hajjaj, Ibnu Arabi dan Al-Jili. Di kalangan penganut
tasawuf falsafi itu lahirlah teori-teori seperti fana, baqa’, dan ittihad (
yang dipelopori oleh Abu yazid Al-Busthami ), Hulul ( yang dipelopori oleh
Al-Hajjaj ), Wahdat al Wujud ( yang dipelopori oleh Ibn ‘Arabi ), dan Insan
Kamil ( yang dipelopori oleh Al-Jili ).[2] Tasawuf
falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya
didasarkan pada dzauq, tetapi tidak pula dikategorikan sebagai tasawuf
dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan
dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.[3]
Abdul Karim ibnu Ibrahim al Jili
Abdul
Karim ibnu Ibrahim al Jili atau biasa disebut dengan Al-Jili adalah seorang
sufi yang terkenal dari Negara Baghdad,. Riwayat hidupnya tidak banyak
diketahui oleh orang. Para penulis hanya menyebutkan bahwa ia lahir di al jili
atau Gilan, sebuah negeri di kawasan Baghdad atau sebuah propinsi di sebelah
selatan Kasfia pada tahun 1365 M ( 767 H ) dan meninggal dunia di tempat yang
sama pada 1409 ( 811 H ). Nama al jili diambil dari tempat kelahirannya di
Gilan atau Al jili. [4]
Jenjang
pendidikan al Jili juga sulit untuk ditelusuri. Al Jili hanya diketahui pernah
berguru pada Abdul Qadir al Jaelani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat
Qadiriyah yang kondang, disamping itu ia juga sempat berguru pada Syekh
Syarafud-Din Ismail ibnu Ibrahim al Jabarti, seorang tokoh tasawuf terkenal di
negeri Zabit Yaman.
Dalam
dunia tulis menulis al Jili termasuk seorang sufi yang cukup kreatif,
karangannya tentang tasawuf tidak kurang
dari 20 buah, yang paling terkenal di antaranya adalah “Al Insan al Kamil fi
makrifah al awakhir wa al awail dan Al kahf wa ar-Raqim fi Syarh Bismillah
ar-Rahman ar-Rahim. Konon bukunya yang disebut pertama adalah al-Insan al
Kamil, pernah menggemparkan ulama-ulama Sunah dan Fiqih masa itu, meskipun
isinya hanya menjelaskan buah fikiran Ibnu Arabi dan Jalaludin Rumi, karena
memang al Jili terkenal sebagai penerus dan pembela ajaran Muhyidin Ibnu Arabi
dan Jalaludin Rumi, walaupun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat.
Ajaran
tasawuf al Jili yang terpenting adalah tentang Zat Mutlak, masalah Ruh, tentang
Nur Muhammad dan Insan Kamil ( manusia sempurna ). Zat mutlak, menurut al Jili
adalah sesuatu yang dihubungkan kepadanya nama dan sifat lainnya bukan pada
wujudnya. Dalam artian bahwa setiap nama atau sifat yang dihubungkan kepada
sesuatu itu disebut dengan zat, baik ia ada atau tidak. Zat Allah itu ghaib
dengan sendirinya, tidak dapat dicapai atau dijangkau dengan isyarat apapun,
maka untuk mencapai zat yang tertinggi harus dengan jalan Kasyaf Illahi, tanpa
mengetahui kasyf tersebut maka pendekatan terhadap zat illahi tidak mungkin
dapat diketahui dan dicapai, karena zat tersebut berada di luar jangkauan ilmu
pengetahuan biasa dan panca indera. Kasyaf tersebut menurut al Jili dapat
melalui dengan beberapa tahap:
a Fana
dari dirinya sendiri untuk mencapai hadirat Tuhan.
b Fana
dari Tuhan untuk mencapai rahasia-rahasia Rububiyah.
c Fana
dari ketergantungan terhadap sifat-sifat Tuhan untuk berhubungan dengan Zat
Tuhan.
Ajaran
al Jili lainnya adalah tentang ruh. Ruh
menurut al Jili ialah para malaikat. Malaikat adalah makhluk yang diciptakan
Tuhan dari cahaya-Nya, kemudian dari malaikat inilah Tuhan menciptakan alam.
Malaikat merupakan makhluk yang terdekat dan termulia di sisi Allah, karena itu
malaikat diberi tempat di alam ufuk, alam jabarut ( alam malaikat ) dan alam
malakut (alam ghaib ).[5]
Sedangkan ruh al Qudus atau ruh al arwah merupakan wajah yang khas dari wajah
Tuhan, dengan wajah itu terciptalah yang maujud ini. Ruh al Qudus berarti ruh
yang suci dari semua yang maujud. Ruh itu disebut juga dengan wajah illahi yang
ada dalam semua makhluk.
Tentang
Nur Muhammad, al Jili menyatakan Nur itulah sumber dari segala yang maujud,
tanpa Nur maka tidak aka nada ala mini, tidak akan ada zaman dan keturunannya.
Kejadian ala mini pada mulanya bersumber dari pada hakikat al Muhamadiyah atau
Nur Muhammad, karena Nur Muhammad itulah asal segala kejadian. Ajaran Nur
Muhammad ini pada mulanya dicetuskan oleh al Hajjaj, yang diteruskan kemudian
oleh Ibnu Arabai, al Jili dalam hal ini hanyalah mengembangkan saja. Dalam
ajaran Nur Muhammad ini telah dijelaskan bahwa Nabi Muhammad terdiri dari dua
aspek, yakni rupa yang qadim dan rupa yang azali. Dia telah terjadi sebelum
terjadinya seluruh yang ada. Rupa yang azali adalah sebagai manusia, sebagai
seorang rasul dan nabi yang diutus Tuhan, dan rupa ini akan mengalami maut.
Sedang rupa yang qadim tetap ada meliputi alam dari rupa inilah diambil segala
Nur untuk menciptakan segala nabi dan rasul serta para wali.
Yang
terakhir dari ajaran al Jili adalah mengenal Insan Kamil ( manusia sempurna )
sebagai suatu keharusan yang inheren dengan esensinya.[6]
Menurut al Jili, Muhammad adalah Al Insan al Kamil, karena mempunyai
sifat-sifat al Haq ( Tuhan ) dan al Khalq ( makhluk ) sekaligus. Hal ini karena
sifat dan nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan pada Insan
Kamil. Dan sesungguhnya al Insan al kamil itu adalah Ruh Muhammad yang
diciptakan dalam diri nabi-nabi sejak dari nabi adam sampai nabi Muhammad,
wali-wali serta orang-orang shaleh. Al Insan al Kamil di gambarkan
diperumpamaan hubungan Tuhan dengan Insan Kamil bagaikan cermin. Seseorang
tidak dapat melihat bentuk dirinya kecuali melalui cermin tersebut. Demikian
pula halnya dengan Insan kamil, ia tidak akan dapat melihat dirinya, kecuali
dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya
kecuali melalui cermin Insan Kamil. Al Insan al Kamil diberi hak-hak dan
sifat-sifat yang istimewa dengan hukum-hukum Tuhan yang halus. Ia memiliki dua
dimensi yaitu kanan dan kiri, yang kanan merupakan aspek lahir seperti melihat
dan mendengar.[7]
Menurut
Arberry, konsep Al Insan al Kamil al Jili dekat dengan konsep hullul al Hajjaj
dan konsep ijtihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat lahut dan nasut dalam suatu
pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad.[8]
BAB
III
PENUTUP
A
Kesimpulan
Ajaran tasawuf al Jili yang terpenting adalah
tentang Zat Mutlak, masalah Ruh, tentang Nur Muhammad dan Insan Kamil ( manusia
sempurna ). Zat mutlak, menurut al Jili adalah sesuatu yang dihubungkan
kepadanya nama dan sifat lainnya bukan pada wujudnya. Dalam artian bahwa setiap
nama atau sifat yang dihubungkan kepada sesuatu itu disebut dengan zat, baik ia
ada atau tidak. Zat Allah itu ghaib dengan sendirinya, tidak dapat dicapai atau
dijangkau dengan isyarat apapun, maka untuk mencapai zat yang tertinggi harus
dengan jalan Kasyaf Illahi, tanpa mengetahui kasyf tersebut maka pendekatan
terhadap zat illahi tidak mungkin dapat diketahui dan dicapai, karena zat
tersebut berada di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa dan panca indera.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Rozak. 2010. Filsafat Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.
Harun
Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek ( Jilid II ). UI-Press. Jakarta:
1986.
Fadhli
bahri. Darah Hitam Tasawuf,Studi Kesesatan Kaum Sufi. Jakarta: Darul
Falah, 2000.
M.
Jamil. 2007. Cakrawala Tasawuf. Jakarta:Gaung Persada Press.
Moh.
Toriqqudin. 2008. Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern.
UIN Malang Press.
Solihin.
2001. Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syakirin
Al-Ghozaly. Ilmu Tasawuf. Kartasura: IAIN Surakarta.
[1] Harun Nasution. Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspek ( Jilid II ). UI-Press. Jakarta: 1986, hlm: 71.
[2] Fadhli bahri. Darah Hitam
Tasawuf,Studi Kesesatan Kaum Sufi. Jakarta: Darul Falah, 2000, hlm: 334.
[4] Syakirin
Al-Ghozaly. Ilmu Tasawuf. Kartasura: IAIN Surakarta.
[7]
Moh. Toriqqudin. 2008.
Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf dalam Dunia Modern.
UIN Malang Press.
[8] Ibid, 155.